Oct 29, 2010

* Sitti Hapipa The Real Kartini ............


CEylon Map 1914

Naskah Dinasti Gowa Ditemukan

Jakarta- Sepucuk surat dalam naskah kuno beraksara Jawi mengungkapkan sejarah penting dinasti Kerajaan Goa. Ahli filologi dan peneliti dari Leiden University, Belanda, Suryadi, menemukan bagian penting yang selama ini belum terungkap dalam buku-buku sejarah di Indonesia. Sejarah penting itu dalam sepucuk surat Sitti Hapipa yang dikirimkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, yang ketika itu dijabat Albertus Henricus Wiese (1805-1808).



Surat penting Sitti Hapipa dari pengasingannya di Colombo, Ceylon (sekarang Sri Lanka), itu selama ini telah menjadi koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden. Suryadi memaparkan temuannya itu dalam Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara 12 di Universitas Padjadjaran Bandung.

”Meskipun sudah banyak kajian yang dibuat mengenai (per)surat(an) Melayu lama, surat-surat dari tanah pembuangan belum banyak dibicarakan, bahkan terkesan sedikit terlupakan. Padahal, surat-surat tersebut mengandung berbagai informasi yang berharga mengenai kehidupan orang-orang yang dibuang Belanda di negeri asing tempat mereka menjalani sisa hidupnya, bahkan tak jarang berkubur di sana,” kata Suryadi ketika berbincang-bincang dengan Kompas, Minggu (10/8) di Jakarta.



Mengingat kandungan data historis yang dimiliki surat tersebut, transliterasinya yang akan diterbitkan sebuah jurnal di Indonesia dapat dimanfaatkan oleh peneliti di luar bidang ilmu filologi dan sastra Melayu lama.



Kehidupan sultan



Menurut Suryadi, isi surat Sitti Hapipa memberikan sejumlah informasi akurat mengenai kehidupan Sultan Fakhruddin beserta keluarga besarnya (dengan 12 anak dan cucu-cucu) di Colombo, tarikh (jam, hari, tanggal, dan tahun) mangkatnya, dan penyebab kematiannya di ibu kota Ceylon itu. Suatu informasi yang cukup rinci tentang anggota dinasti Kerajaan Gowa yang selama ini belum pernah diungkapkan dalam buku-buku sejarah.



Sitti Hapipa dalam suratnya mengatakan, dia mempunyai 12 anak, 6 lelaki, 6 perempuan, satu di antaranya adalah Karaeng Sangunglo. Kisah Karaeng Sangunglo ini menarik: Dia membelot kepada pihak Kerajaan Kandy di Pedamanan Ceylon, waktu kerajaan itu diserang Belanda/VOC pada tahun 1761/1762. Terus dia memimpin orang-orang Melayu yang lari dari pihak Kandy (mereka disebut Melayu Kandy/Kandyan Malays). Tahun 1803 Karaeng Sangunglo tewas.



Heroik dan tragisnya, dua saudara tirinya (seayah): Kapten Noordeen (Nuruddin) dan Karaeng Saefuddin berada di pihak Inggris. Jadi antara saudara tiri itu berhadapan di medan perang membela pihak yang berseberangan: Kandy dan Inggris, Inggris kalah dalam perang itu. Kapten Noordeen dan Karaeng Saefuddin ditangkap oleh pasukan Kandy. Mereka diberi kesempatan untuk mengabdi kepada raja Kandy (seperti almarhum saudara tirinya, Karaeng Sangunglo). Namun, mereka menolak dan tetap setia kepada Inggris.



”Akhirnya raja Kandy memerintahkan untuk mengeksekusi kedua bersaudara itu. Mayat mereka dilempar ke hutan,” papar Suryadi.



Surat Sitti Hapipa mengungkapkan sisi-sisi kehidupan kelompok manusia yang diasingkan oleh makhluk sesamanya yang lebih kuat (orang Eropa) ke tempat yang jauh dari tumpah darahnya. Mereka adalah ”pahlawan bangsa” yang kisah kehidupannya amat jarang tersua dalam buku-buku sejarah Indonesia. (NAL)



Sumber : cetak.kompas.com (11 Agustus 2008)

Link Source : Naskah Dinasti Gowa Ditemukan http://niadilova.blogdetik.com/
Baca Selanjutnya - * Sitti Hapipa The Real Kartini ............

* Bangsawan Gowa Dikenang sebagai Pejuang Srilanka


Sigiriya

CATATAN sejarah kembali mengukir keberanian bangsawan Bugis-Makassar di luar negeri. Adalah Karaeng Sangunglo atau Karaeng Sanguanglo yang disebut sebagai bangsawan Kerajaan Gowa menjadi pejuang rakyat Srilanka dulu masih bernama Ceylon.

Nama tersebut bisa jadi terasa asing di Indonesia, termasuk di tanah asalnya, Gowa. Namun tidak bagi masyarakat Colombo atau Sri Lanka.

Demikian salah satu bagian diskusi Rumah Nusantara yang digelar di kantor Tribun, Senin (12/7). Diskusi menghadirkan sejumlah akademisi seperti antroplog Dr Halilintar Latief MPd, Ishak Ngeljaratan, KH Dahlan Yusuf, dan dosen/peneliti dari Leiden Institute for Area Studies/ School of Asian Studies, Suryadi.

Sejumlah tokoh lintas etnis dan budaya juga hadir dalam diskusi yang berlangsung hangat namun tetap diselingi dengan canda tawa dari peserta diskusi.

Karaeng Sangunglo disebutkan sebagai putra Raja Gowa Ke-26 (1753), Sultan Fakhruddin Abdul Khair al-Mansur Baginda Usman Batara Tangkana Gowa, yang memilih pindah ke tanah kelahiran ibunya di Bima karena kuatnya intimidasi Belanda di Gowa kala itu.

Pada 1767, tanpa alasan yang jelas, Sultan Fakhruddin ditangkap dan dibuang ke Ceylon. Di sanalah putranya Karaeng Sangunglo menjadi pahlawan Melayu dan menjadi legenda di Ceylon.

Awalnya, Karaeng Sangunglo adalah anggota dari Resimen Melayu Ceylon (semacam pasukan khusus bentukan Belanda) yang kemudian dilikuidasi oleh Inggris tahun 1796 hingga berubah nama menjadi The Ceylon Rifle Regiment.



Membelot


Saat VOC melakukan agresi besar-besaran di wilayah Kandy, Ceylon pada 1761, Karaeng Sangunglo memilih membelot karena jiwanya memberontak terhadap perlakuan keji Belanda kepada pribumi dan bergabung dengan pasukan Kandy.


Saat itu, Raja Kandy Nayakkar Kirthi Rajasinha (1747-1782) menganugerahkan posisi dan gelar muhandiram (semacam komandan pasukan pengawal kerajaan ).


Dalam catatan seorang anggota tentara Inggris yang melakukan agresi tahun 1803, keberanian sosok Karaeng Sangunglo digambarkan sebagai fat and tall Malay prince (tentara Melayu yang bertubuh besar dan tegap) di medan perang.


Dalam the first Anglo-Kandyan war, Karaeng Sangunglo menderita kekalahan. Jenazahnya dikebumikan dengan upacara yang khidmat oleh otoritas kerajaan Kandy dan masyarakat Kandyan Malays.


Ironis


Kisah heroisme Karaeng Sangunglo dirangkai dari serpihan data sejarah yang terserak dalam laporan orang Eropa, surat kabar, majalah, dan buku-buku tua, serta naskah bertulisan Jawi.


Riwayat “pahlawan” seberang lautan tersebut menurut Suryadi masih perlu mendapat penelitian ilmiah lebih lanjut.


Meski demikian, hal tersebut menurutnya sangat ironis. Jika di Srilanka nama mereka harum sebagai seorang pahlawan karena keberanian dan keteguhan perasaannya, maka di bumi Nusantara, tanah tumpah darah mereka tidak memperoleh tempat yang layak.


“Jangankan diakui sebagai pahlawan, tidak ada sebuah gang-pun di negeri ini yang mengabadikan namanya,”kata Suryadi.



Membelot karena Jiwanya Memberontak



Meski kebesaran kisah heroik Sultan Fakhruddin dan Karaeng Sangunglo tidak terlacak dalam rekaman pribumi, bahkan mungkin namanya tak tercatat dalam silsilah kerajaan Gowa saat ini, namun ada pelajaran besar yang terselip dan coba diajarkan olehnya.


Saat Sultan Fakhruddin mengajarkan kepada kita arti sebuah ketenangan jiwa, saat jiwa dan hatinya gundah akibat maraknya intrik yang dilakukan oleh keluarga dan tekanan kolonial Belanda.


Watak dan kebesaran hati Sultan Fakhruddin menjadi bahan perbincangan dalam diskusi Rumah Nusantara di Tribun, Senin (12/7), yang menghadirkan menghadirkan sejumlah akademisi seperti antroplog Dr Halilintar Latief MPd, Ishak Ngeljaratan, KH Dahlan Yusuf, dan dosen/peneliti dari Leiden Institute for Area Studies/ School of Asian Studies,Suryadi.


Sultan Fakhruddin memilih meninggalkan segala kebesaran dan kekuasaan yang dimilikinya dan memilih untuk tinggal di tanah seberang tempat kelahiran ibunda tercintaya, Bima. Apa yang dilakukannya mengajarkan kita bahwa ketenangan jiwa lebih berharga ketimbang harta bendanya.


Ayah Sultan Fakhruddin adalah Sultan Abdul Quddus (Sultan Gowa ke-25; 1742 - 1753) dan ibunya adalah Karaeng Ballasari, putri pasangan Sultan Bima, Alauddin Riayat Syah (1731 - 1748) dan Karaeng Tanasangka, putri Sultan Gowa ke-21, Sirajuddin Tumenanga ri Pasi alias I Mappaurrangi (1711 - 1713).


Pada suatu hari, di tahun 1767, Sultan Fakhruddin dan ibunya tiba-tiba ditangkap atas perintah Jacob Bikkes Bakker, Residen Belanda di Bima. Ia segera dibawa ke Batavia.

Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra memberi perintah: Sultan harus dibuang ke Ceylon. Pada tahun itu juga (1767) Sultan Fakhruddin sampai di tanah pembuangan yang jauh itu.


Di Ceylon, Saat VOC melakukan agresi besar-besaran di wilayah Kandy, Ceylon pada 1761, Putra sultan Fakhruddin, Karaeng Sangunglo memilih membelot karena jiwanya memberontak terhadap perlakuan keji Belanda kepada pribumi dan bergabung dengan pasukan Kandy.


Sekalipun harus meninggalkan jabatan dalam militer Belanda saat itu, Karaeng Sangunglo telah mengajarkan bahwa jabatan bukan satu-satunya jaminan untuk membuat manusia dikenang oleh generasi berikutnya.


Pembelotan yang dilakukan oleh Karaeng Sangunlo bukan berarti tidak patuh kepada `tuannya’, tapi karena hatinya tidak tega menyaksikan kesema-menaan yang dilakukan oleh Belanda terhadap bangsa pribumi Srilanka.


Istri kedua Sultan Fakhruddin, Sitti Hapipah, Ibu tiri Karaeng Sangunglo jelas sekali menggambarkan sosok perempuan cerdas nan terpelajar, mengetahui baca tulis, penanggalan, bahkan dengan struktur kalimat Arab Melayu.


Surat Cod.Or.2241-I 25 [Klt 21/no.526] yang kini tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden (Universiteitsbibliotheek Leiden), Belanda. Menurut Edwin Wieringa (1998 : 391) Cod.Or.2241-I 25 [Klt 21/no.526] adalah letter from Sitti Hapipa at Ceylon, widow of the exiled Sultan Fakhruddin of Go[w]a, to the Governor General and the Raad van IndiĆ«, dated Kolombo, 3 Januari 1807; received at Batavia 29 May 1807.” (syekhuddin/ adin)



http://www.tribun-timur.com, 13/14 JULI 2010
Selasa, 13 Juli 2010 |

Source : Diskusi Rumah Nusantara di Tribun Timur
Baca Selanjutnya - * Bangsawan Gowa Dikenang sebagai Pejuang Srilanka

Oct 28, 2010

* Laksamana Raja Di Laut Keturunan Bugis Wajo


Source : Rumah dan Makam Datuk Laksaman Raja di Laut

MAKNA BENGKALIS

Sementara itu, asal mula nama Bengkalis diambil dari kata “Mengkal” yang berarti sedih atau sebak serta “Kalis” yang berarti tabah, sabar dan tahan ujian.

Sejarah Bengkalis bermula ketika Tuan Bujang alias Raja Kecil bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah mendarat di Bengkalis pada tahun 1722. Sultan yang juga menguasai wilayah Siak disambut oleh batin (kepala suku) Senggoro dan beberapa Batin lainnya.

Para Batin meminta Sultan agar membangun kerajaan di Bengkalis, sebagai wujud rasa hormat mereka. Melalui musyawarah dengan sejumlah Datuk di wilayah pesisir Riau pada tahun 1723, disepakati pusat kerajaan didirikan di dekat Sabak Aur yakni di sungai Buantan salah satu anak Sungai Siak.

Bengkalis pernah menjadi basis awal kerajaan Siak. Sejarah juga mencatat, semasa Belanda berkuasa, di Bengkalis pernah diduduki residen pesisir timur pulau Sumatera. Saat itu, Bengkalis sudah menunjukkan peran penting dalam arus lalu lintas niaga di selat Melaka, terutama sebagai persinggahan saudagar yang keluar masuk sungai Siak.

Strategisnya posisi Bengkalis sebagai lalu lintas niaga menyebabkan Pemkab setempat meletakkan pembangunan pelabuhan penumpang bertaraf internasional di Selat Baru sebagai salah satu prioritas pembangunan di era otonomi. Kehadiran pelabuhan tersebut diharapkan memperlancar transportasi ke dan dari Malaysia.

“Jarak tempuh ke Malaysia dari Bengkalis hanya 45 menit. Padahal selama ini jika ditempuh dari Kota Dumai bisa mencapai dua jam,” ujar Bupati Bengkalis.

Pembangunan pelabuhan ini juga dilakukan sebagai salah satu upaya mempercepat pembangunan di Bengkalis yang selama ini tertinggal dibanding daerah lain, serta mewujudkan rencana kabupaten ini menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara.

Malaysia sebagai pintu gerbang Indochina diharapkan bisa memperlancar rencana tersebut. Bahkan Pemkab Bengkalis telah menyiapkan menyiapkan berbagai infrastruktur serta fasilitas penunjang. Misalnya, menyediakan kawasan industri di Kecamatan Bukit Batu.

Pembangunan pelabuhan internasional di Selat Baru diperkirakan membutuhkan dana sebesar Rp1 triliun. Proyek tersebut masih berjalan sekitar 50 persen dan diharapkan dapat dioperasikan akhir tahun ini.

Sosok Laksamana Raja Di Laut

Situs bersejarah Kabupaten Bengkalis di kecamatan Bukit Batu berupa kediaman Datuk Laksamana dari Raja Dilaut, Masjid Jami Al Haq serta makam para keluarga Datuk Laksamana dari Kerajaan Siak Sri Inderapura, hingga kini terabaikan dan tidak terawat.

Berdasarkan pengamatan lapangan akhir pekan lalu, kampung tempat kediaman pembesar Siak Sri Inderapura itu kini tidak lagi menunjukkan bahwa di sana dulunya bekas pemerintahan seorang raja yang sangat berkuasa di laut dan ditakuti bangsa asing yang ingin menguasai kerajaan Melayu Siak Sri Inderapura karena sudah berupa semak belukar.

Pusat pemerintahan Datuk Laksamana tersebut meski banyak ditumbuhi pohon kelapa kini sunyi dari penduduk dan rimbun dengan semak belukar.

"Dulu perkampungan di sini ramai, tidak hanya dihuni para warga Melayu, tapi juga orang Cina, namun saat ini telah menjadi kampung tak bertuan," kata seorang warga Bukit Batu yang juga keturunan Datuk Laksamana, Abdul Hamid mansyur (60).

Pegawai Pembantu Pencatat Nikah (P3N) desa Bukit Batu itu mengatakan, meski tempat kediaman Datuk Laksamana berupa rumah tradisional Melayu, telah direhab, begitu juga beberapa makam Datuk Laksamana, namun tetap telantar.

Rumah berarsitektur Melayu yang memiliki tiang penyangga tinggi hingga kolongnya bisa menjadi tempat bermain anak-anak dan dilalui orang dewasa itu, dalam keadaan kosong dan halamannya ditumbuhi semak.

Begitu juga makam Datuk Laksamana Kelima, meski telah dibuat jalan bersemen dan makamnya direhab, namun tetap saja dipenuhi semak belukar.

Pemandangan serupa juga terlihat di Masjid Jami Al Haq, yang merupakan masjid tertua di Bengkalis dan dua makam Datuk Laksamana.

Datuk Laksamana merupakan pembesar kerajaan Siak yang semula bermukim di Bengkalis, kemudian memindahkan lokasi pemerintahannya ke Bukit Batu.

Dalam sejarahnya, Datuk Laksamana merupakan keturunan Bugis, dimana Daeng Tuagik, anak dari Sultan Wajok yang kawin dengan anak Datuk Bandar Bengkalis, Encik Mas (seorang perempuan yang berkuasa di pulau Bengkalis).

Daeng Tuagik ketika menikahi Encik Mas telah berjanji untuk tidak memakai gelar Bangsawan Bugis bagi keturunannya. Dari perkawinannya ia mendapat seorang anak yang bernama Datuk Bandar Jamal (1720-1767) yang kelak menggantikan ibunya sebagai penguasa Bengkalis.

Gelar Datuk Laksamana Raja Dilaut baru diberikan Sultan Siak kepada Encik Ibrahim, anak dari Datuk Jamal serta tiga orang keturunannya, yang terakhir Encik Ali Akbar (1908-1928).

Sumber :
- Gatra.com, Situs Bersejarah di Bengkalis Tak Terawat,Pekanbaru, 27 Mei 2002 15:13
- Yahoo Group Budaya Tionghoa & Sejarah Tiongkok
Baca Selanjutnya - * Laksamana Raja Di Laut Keturunan Bugis Wajo

* 4 Tokoh Wajo dalam Kisah kehidupan Perjuangan Raja Kecil Siak

Bandar Bengkalis terletak di Pulau Bengkalis yang berbatasan sebelah utara dan timur dengan Selat Malaka, sebelah selatan dan barat dengan Selat BEngkalis. Pulau yang lebih dikenal dengan julukan pulau terubuk ini, menurut cerita orang tua-tua dari mulut ke mulut yang dapat dipercaya pada abad ke-15 atau sekitar tahun 1645 Masehi, pernah ada sepasang suami istri tiba di kampong Muntai yaitu sebuah desa yang terletah di sebelah utara pulau Bengkalis, mereka datang dari negeri seberang yakni Malaka.

Sebagai pendatang dari sebuah negeri yang memiliki tamadun yang tinggi, tak pelak lagi bahwa mereka menjadi tempat bertanya bagi penduduk tempatan. Mereka bergaul dengan tidak ada merasa asing lagi, dan dari hari kehari pergaulan mereka semakin akrab. Namun sebagai suami istri yang sudah lama menikah, mereka belum dikaruniai seorang anak.

Didorong oleh rasa ingin memiliki anak, akhirnya mereka mengangkat seorang anak perempuan, kemudian diberi nama Intan. Selang beberapa lama Ibu angkat Intan hamil pula, dan tak beberapa lama kemudian lahir pula seorang anak perempuan yang mereka beri nama Encik Mas.

Buka saja pertumbuhan dan perkembangan kedua anaknya saja semakin hari semakin bertambah, demikian pula halnya dengan laut Muntai / Selat Malaka yang kian ramai dilewati perahu-perahu asing. Mengingat letak kampung Muntai sangat berdekatan sekali dengan Bandar Malaka dan banyaknya pendatang yang datang membeli buah suntai, maka oleh Ayah Encik Mas mengusulkan kepada Batin Muntai agar ditunjuk seseorang menjadi Datuk Bandar yang berkedudukan di Muntai. Setelah melalui beberapa ujian sepakatlah seluruh Batin menunjuk Ayah Encik Mas menjadi Datuk Bandar Bengkalis yang pertama.

Pada tahun 1675 Masehi Datuk Bandar pertama Bengkalis meninggal dunia dan hal ini seiring dengan beranjak dewasa kedua putrinya, sebagai penggantinya maka ditunjuklah anak kandungnya Encik Mas sebagai Datuk Bandar Bengkalis yang kedua.

Dalam upaya menjaga ketertiban dan ketentraman pulau Bengkalis, Encik Mas telah membentuk badan keamanan di dalam Bandar dan beliau tidak mengizinkan untuk mendirikan angkatan bersenjata dan kenderaan laut, karena menurut beliau bila hal ini dibentuk akan menimbulkan niat jahat menyerang negeri lain.

Kedatangan Perantau Bugis Wajo

Selang beberapa waktu kemudian, sekitar tahun 1680 Masehi, Pulau Bengkalis didatangi oleh sebuah perahu layer, kalau ditinjau dari peralatannya dapatlah dikatakan sebuah kapal perang dari Sulawesi Selatan yaitu Wajok. Didalamnya terdapat empat orang putra Sultan Wajok, yaitu masing-masing bernama Daeng Tuagik, Daeng Puarik, Daeng Ronggik dan Daeng Senggerik.

Selang beberapa purnama tinggal di Bengkalis, mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalannya dan mohon diri kepada Datuk Bandar. Akan tetapi salah seorang dari mereka ini, yaitu Daeng Tuagik tidak ikut melanjutkan perjalanan, dengan alasan bahwa beliau belum puas tinggal di Bengkalis.

Selama tinggal di Bengkalis timbul niatnya untuk mempersunting Encik Mas. NIat tersebut disampikannya kepada Encik Mas, ternyata niat Daeng Tuagik mendapat tanggapan baik dari Encik Mas.

Melalui perantaraan orang-orang Encik Mas menyampaikan syarat-syarat yang harus dipenuhi oelh Daeng Tuagik bila kelak menjadi suami Encik Mas, yaitu sebagai berikut :

1. Keturunannya (Daeng Tuagik dengan Encik Mas) hingga keanak cucu nantinya,????tidak boleh memakai gelar dari Sulawesi.2. Daeng Tuagik sendiri tidak boleh membentuk angkatan bersenjata di laut,????sebagaimana terdapat dalam dasar pemerintahan Bugis.

Maka diterimanyalah syarat-syarat tersebut. Tidak beberapa lama kemudian diadakan acara peminangan dan berlanjut dengan dilaksanakan acara yang meriah sekali .

Pada usia perkawinan Datuk Bandar Bengkalis dengan Daeng Tuagik genap satu tahun bertepatan dengan itu pula atas mufakat bersama ditabalkan Daeng Tuagik sebagai ketua Panglima-panglima yang ada di Bengkalis dengan gelar Panglima Tuagik, di bawah Pemerintah Datuk Bandar Bengkalis.

Panglima Tuagik adalah keturunan dari dua suku Bangsa Bugis yang dikenal gagah berani dan perkasanya, yaitu mengarungi lautan dan menghapuskan segala perampok atau menghadang kapal-kapal Belanda yang berniat menjajah bangsanya.

Ibu Negeri Bengkalis Dipindahkan Dekat Sungai Bengkalis


Lukisan perkampungan di Bengkalis Riouw, Sumatera 1904

Daeng Tuagik berniat memindahkan ibu Negeri Bengkalis. Hal ini disampaikannya kepada Istrinya Datuk Bandar Bengkalis dengan alasan Ibu Negeri sekarang tidak sesuai lagi dengan keadaan, menurutnya harus dipindahkan dekat Sungai Bengkalis yang posisinya menghadap Selat Bengkalis.

Sekitar tahun 1690 Masehi Encik Mas melahirkan seorang anak laki-laki, maka mereka memberi nama Jamal dan setelah anak ini dewasa dinamakannya Encik Jamal. Setelah berumur tiga puluh tahun, maka oleh Ibundanya diangkatlah Encik Jamal sebagai Datuk Bandar Jamal.

Sekitar tahun 1720 Masehi terpikir pula oleh Datuk Bandar Jamal, untuk membuat sebuah perahu, maka dibuatnyalah sebuah perahu yang amat besar, perahu tersebut menyerupai perahu-perahu yang banyak terdapat di daerah Sulawesi. Setelah perahu tersebut siap maka perahu itu diberi warna kuning bertumpuk-tumpuk pada bagian badannya dengan memakai layer Bugisnya. Layer dan Jip (layar kecil di depan) berwarna putih. Perahu yang besar itu diberi nama Lancang kuning. Pada tahun 1720 Masehi itu juga dikawinkanlah Datuk Bandar Jamal dengan anak Datuk Batin Senderak.

Panglima Tuagik Ikut Menyerang Johor

Setelah mendengar maksud dan tujuan Yang Dipertuan Raja Kecil, orang-orang Bengkalis ingin bersama-sama membantu perjuangan Raja Kecil itu. Untuk membantu maksud tersebut dibentuklah sebuah angkatan yang dikepalai oleh Datuk Panglima Tuagik, siap siaga menunggu perintah. Dipenghujung tahun 1720 Masehi Pasukan Panglima Tuagik beserta Raja Kecik berlayarlah menuju Johor.

Setelah Pertempuran hamper reda dan keadaan dapat dikendalikan, Yang Dipertuan Raja Kecil dilantik menjadi Sultan Johor yang Bergelar Sultan Abdul Jalil Rakhmad Syah pada tahun 1720. adapun Panglima Tuagik, setelah Penabalan Yang Dipertuan Raja Kecil menjadi Sultan, Iapun kembali ke Bengkalis beserta Panglima-panglima membawa kemenangan yang gemilang. Semenjak kepulangan itu Beliau selalu saja berada dalam Lancang Kuning Anaknya.

Pada tahun 1722 Masehi ibunda dari Datuk Bandar Jamal yaitu Encik Mas jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Adapun istri dari Datuk Bandar Jamal melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Encik Ibrahim.



sumber :

Dari Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Bengkalis
Dari Mahasiswa Politeknik_Bengkalis (@BDUL_RAHMAN)
Baca Selanjutnya - * 4 Tokoh Wajo dalam Kisah kehidupan Perjuangan Raja Kecil Siak

* Perjuangan Ketujuh Tokoh Pergerakan Kebangsaan di Makassar dan Serui (Yapen) Papua

Oleh : Ir. Zainuddin Daeng Maupa


The 7 exiles and Oom Silas Papare

Disampaikan pada peringatan Sarasehan Syukuran Makassar Serui (SSMS96) di Ujung Pandang , 30 Juli 1996, dalam rangka mengenang 50 tahun pembuangan ketujuh tokoh pergerakan kebangsaan Makassar ke Serui, Yapen, Irian Jaya oleh penjajah Belanda

PENDAHULUAN

Dalam mengenang kembali peristiwa yang terjadi di Sulawesi Selatan dan Serui ± 50 tahun yang lalu, perkenankanlah kami untuk menjelaskan peranan ketujuh tokoh pergerakan / pemimpin itu di Makassar. Melalui sarasehan ini, kami mendekati latar belakang pergerakan di daerah ini, tanpa maksud meremehkan dan atau membesar – besarkan peran beliau – beliau. Kami mencoba mendekatinya melalui publikasi yang ada, apa yang kami dengar dan ataupun alami langsung, karena untuk bagian – bagian tertentu kami ikut turut berperan didalamnya melalui cara seobyektif mungkin. Selanjutnya atas kepercayaan dari keluarga penerus ketujuh tokoh ini dalam menyusun uraian ini pada tempatnya kami mengucapkan banyak terima kasih. Dan bila terdapat kekurangan didalamnya terbuka untuk dikoreksi.

PERANAN DR. G.S.S.J. RATULANGIE DKK DI MAKASSAR

Sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah pendudukan Jepang (RIKU – GUN) di Jakarta, oleh pihak MINSEI-FU (KAI-GUN) di Makassar, sejak awal pendaratan tentara Jepang disini, telah merangkul Lanto Daeng Pasewang, H. Sewang Daeng Muntu, M. A. Pelupessy, Tio Heng Sui dan H. Nusu Daeng Mannangkasi sedangkan Nadjamuddin Daeng Malewa diangkat menjadi Walikota Makassar pada bulan Mei 1945, melalui wadah : SYUKAI-GIIN, merupakan Badan Penasehat Penguasa MINSEI-FU. Pada akhir tahun 1944, tiba dari Jakarta rombongan DR. Ratulangie, Pondaag dan Tobing, kemudian menyusul Mr. Tajuddin Noor dan Mr. A. Zainal Abidin.
Kehadiran beliau – beliau dimaksud untuk memperkuat barisan pro kemerdekaan segera beliau tiba di Makassar, maka wadah diatas berganti nama : SUMBER DARAH RAKYAT (SUDARA) dalam bahasa Jepang : KEN KOKU DOSIKAI. Wadah ini dipimpin oleh Lanto Daeng Pasewang, A. Mappanyukki dan Mr. Tajuddin Noor, sebagai akibat kekalahan demi kekalahan
yang dialami pihak Jepang di kepulauan Solomon. Wadah ini berkembang pesat, meliputi seluruh potensi perjuangan di Sulawesi Selatan, serta merupakan mantel organisasi binaan tokoh – tokoh pemuda antara lain : A. Mattalatta, Saleh Lahode, Amiruddin Mukhlis, Manai Sophian Sunari, Sutan M. Yusuf SA, Man, Y. Siranamual, dll. Kunjungan Ir. Soekarno dan rombongan ke Makassar pada tanggal 28 April s/d 2 Mei 1945, merupakan suatu momentum sejarah karena lebih membangkitkan dan membakar semangat kemerdekaan, baik melalui pertemuan khusus dengan para tokoh masyarakat ataupun melalui rapat umum di lapangan Hasanuddin, dimana ribuan pemuda (pemudi) menghadiri pengibaran bendera “Merah – Putih”. Agaknya para tokoh – tokoh itu menerima isyarat kemerdekaan dari Bung Karno, karena peristiwa tanggal 30 April 1945 itu sangat penting bagi perjuangan selanjutnya di Sulawesi Selatan.
Dalam posisi Jepang yang makin terjepit oleh pihak sekutu, para pemuka masyarakat itu, yang tergabung dalam SUDARA, menyempurnakan struktur dan personalia di perluas dengan susunan sebagai berikut :

Ketua Kehormatan : A.Mappanyukki
Ketua Umum : DR. G.S.S.J. Ratulangie
Ketua Pusat : Lanto Daeng Pasewang
Kepala Bagian Umum : M. A. Pelupessi
Kepala Tata Usaha : A. N. Hajarati
Kepala Bag. Pendidikan : Abd. Wahab Tarru
Komando Pusat : G. R. Pantouw, H. M. Tahir, M. Suwang Dg. Muntu
Majelis Pendidikan Pusat : Najamuddin Daeng Malewa, Mr. S. Binol Maddusila Daeng
Paraga

Pembentukan cabang awal di Pare – Pare yang diprakarsai oleh A. Abdullah Bau Massepe, yang diresmikan pada tanggal 30 Juni 1945 oleh Ketua Umum atas nama Ketua Kehormatan, kemudian diikuti Cabang Bosowa di Watampone oleh A. Pangeran Daeng Parani dan seterusnya meliputi seluruh Sulawesi Selatan. Pembinaan hadir diketuai oleh Mr. Tajuddin Noor di Watampone.
(Catatan : Keluarga Ratulangie mengungsi ke Watampone, ingat pembunuhan massal cendikiawan oleh Jepang di daerah tambang emas di Kab. Sambar (Kal-Bar). Mengenai bapak Suwarno adalah bekas Kepala Perguruan Taman Siswa yang didirikan pada tahun 1936 di Makassar sebagai orang Jawa yang berprinsip : “Sepih ing pamrih, rame ing gawe” Para pimpinan SUDARA sekaligus menjadi penggerak dan propagandis yang tekun dan ulet. Hubungan dengan tokoh – tokoh pemerintahan dijalin dengan baik antara lain Ince Saleh Daeng Tompo, Abd. Salam Daeng Masikki, Mangkulla Daeng Patompo, M. Yunus Daeng Mile (semuanya ex Bestuur Ambtenaar) demikian pula dengan para tokoh pemuda diatas. Pembentukan kekuatan mempunyai dua tujuan yang antagonistis, yaitu : bagi kepentingan Jepang, untuk perang semesta dan dipihak lain diarahkan untuk menuju kemerdekaan I ndonesia.
Sementara SUDARA melebarkan sayapnya dan membina kesadaran politik di kalangan rakyat, diterima surat undangan dari Badan Pekerja Untuk Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada tanggal 7 Agustus 1945, untuk mengirim utusan yang paling terpercaya untuk menghadirinya dan disepakati secara bulat, yaitu :

A. Mappanyukki, DR. G.S.S.J. Ratulangie dan A. Sultan Daeng Raja dan Sekr. Mr. A. Zainal Abidin.

Andi Mappanyukki berhalangan hadir, karena puncak perayaan perkawinan puteri beliau mendapatkan A. Jemma (Datu Luwu) dan karenanya diwakili oleh A. Pangerang Daeng Parani. Mereka menuju ke Jakarta pada tanggal 10 Agustus 1945.
Karena alasan pembubaran BUPK oleh Pemerintah Jepang di Jakarta, maka pimpinan Nasional menggantikannya dengan nama : Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Atas restu Laksamana Maeda kelompok pemuda militan yang menerima inspirasi dari Bung Syahrir dan Tan Malaka mendesak pimpinan Nasional Soekarno – Hatta, yang mengetahui tentang Kapitulasi Jepang terhadap sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, agar beliau – beliau segera memprolamirkan Kemerdekaan Indonesia, yang dikenal dengan peristiwa Rengasdengklok.
Para utusan setempat menghadiri Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jalan Pengangsaan Timur oleh Soekarno – Hatta atas nama bangsa Indonesia dan selanjutnya menghadiri PPKI pada tanggal 18 – 19 Agustus 1945.
Selanjutnya rombongan DR. Ratulangie kembali pada tangga 24 Agustus 1945, dan pesawat yang ditumpanginya mendarat di Sapiria dekat kota Bulukumba. DR. Ratulangie dan Mr. Andi Zainal Abidin balik ke Makassar, A. Sultan Daeng Raja menetap di Bulukumba karena alasan sakit, sedangkan A. Pangerang Daeng Parani langsung menuju ke Watampone. Setibanya DR. Ratulangie di Makassar, langsung menginap di Hotel Empress bersama Mr. A. Zainal Abidin selama seminggu.
Selaku Gubernur Sulawesi, beliau menyadari sedalam – dalamnya, bahwa posisi beliau amat sulit. Bandingkan dengan Gubernur Maluku Mr. Latuharhary yang tidak pernah ke Ambon. Pada pertemuan tanggal 28 Agustus 1945 antara DR. Ratulangie dengan para tokoh SUDARA di Makassar, terdapat kekecewaan di kalangan tokoh pemuda dan kecaman tajam dan Najamuddin Daeng Malewa (akhir Desember 1945, telah hilang dari penganut republikein).
Pada akhir bulan itu juga, DR. Ratulangie selaku Gubernur Sulawesi menyusun aparat pemerintahannya sebagai berikut :

Gubernur : DR. G.S.S.J. Ratulangie
Sekretariat : Mr. A. Zainal Abidin
Wakil Sekretaris : F. Tobing
Biro Umum : Lanto Daeng Pasewang
Biro Ekonomi : Najamuddin Daeng Malewa dan Mr. Tajuddin Noor
Biro Pemuda : Siaranamual dan Saelan
Biro Penerangan : Manai Sophian
Pembantu-Pembantu : A. N. Hajarati, GR. Pantouw, Syam, Supardi, Pondaag Dr. Syafrie
dan Saleh Lahade


Penyebaran berita proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia itu disebarkan secara formal, melalui Tim DR. Ratulangie menuju ke Utara sedangkan Tim Lanto Daeng Pasewang ke Selatan dan beliau bertemu di Kota Sengkang.
Dimaksudkan untuk menyusun kekuasaan dan menggalang persatuan dengan makin santernya berita pendaratan tentara sekutu di Sulawesi Selatan. DR. Ratulangie tetap mempertahankan pendiriannya untuk tetap menghindari perlawanan bersenjata dan menggantikannya dengan jalan diplomasi, berdasarkan suatu perhitungan yang matang (calculated risk).
Beliau menghargai sifat – sifat heroisme masyarakat Sulawesi Selatan (Bugis – Makassar), tetapi dalam memperhitungkan situasi dan kondisi yang ada, ialah : Maluku dikenal sebagai Propinsi XIII Minahasa ke XII dari Propinsi Nederland, belum lagi penduduk NTT yang mungkin simpati dengan pihak Belanda. Dasar pertimbangan ini dikemukakan kepada kami bertiga di Serui secara lisan, dalam menyusun konsep buku, “Indonesia diatas Papan Catur Politik Internasional”. (Kami akan membahas inti – intinya kelak.)
Jika di Sumatera dan Pulau Jawa terjadi benturan fisik / pertempuran bersenjata, melalui perampasan senjata oleh para pemuda – pemuda, hal semacam itu ingin dihindari oleh beliau karena akan membawa ekses dendam kesumat (haatzaai) antara suku bangsa di wilayah ini.
Karenanya beliau tidak merestusi permintaan para pemuda militan melalui SUDARA untuk melucuti persenjataan tentara Jepang. Berbeda dengan daerah lainnya dimana pada awalnya Proklamasi Kemerdekaan didukung oleh para raja – raja termasuk raja – raja lokal. Kami pernah memperoleh penjelasan dari Lanto Daeng Pasewang bahwa beliau mengadakan Sumpah Setia dengan Arumpone A. Mappanyukkimdan Datu Luwu A. Jemma, “siapa yang mengkhianati RI akan digantikan isterinya”, dalam bahasa Bugis.
Jika A. Ijo (yang kemudian diangkat menjadi Raja Gowa oleh NICA pada bulan Desember 1946), beliau mengatakan kepada kami, bahwa beliau didahului oleh Najamuddin Daeng Malewa menggarapnya. Patut dijelaskan, bahwa pelucutan senjata Jepang, terjadi juga di Luwu dan Kolaka.

GERAKAN SISWA – SISWA PERGURUAN NASIONAL

Gerakan Kelompok Siswa Perguruan Nasional di Makassar yang dijiwai oleh Perguruan Taman Siswa Perguruan Nasional didirikan oleh DR. Ratulangie dan Lanto Daeng Pasewang dan Suwarno. Dibawah prakarsa Abd. Rivai Paerai, yang mengadakan pertemuan dengan Sdr. Syamsul Ma’arif dan La Ode Hadi bertempat di rumah Lanto Daeng Pasewang (ex Maradekaya weg No. 28) ; mereka memutuskan bahwa saat penyerangan dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober 1945, sesuai Hari Sumpah Pemuda pada jam 05.00 pagi. Sasaran penyerangan disusun sebagai berikut :

1. Kelompok Perguruan Nasional, dipimpin langsung oleh Abd. Rivai Paerai (alm.), menyerang Hotel Empress dimana CO – NICA Dr. Lion Cachet, berkantor dan menginap. Pangkalan penyerangan ditetapkan rumah Bapak Saelan (Tweede Zeestraat), memasuki sekolah Frater selanjutnya menuju sasaran : Kelompok ini akan dibantu oleh PEMUDA PATTUNUANG (lihat lampiran dalam bentuk skema).
2. Kelompok Perguruan ISLAM Datumuseng, menyerang kantor Polisi (ex kantor Gouverneur Grote Oost dan Min Seifu, Jepang) dengan dibantu oleh permuda dari kampung Baru. Dewasa ini menjadi kantor Walikota Kota Madya Ujung Pandang.
Catatan : Setelah Proklamasi kemerdekaan diproklamirkan dua perguruan dibuka di Makassar masing – masing Perguruan Nasional dan Perguruan Datu Museng yang dipelopori oleh H. Masyikur Daeng Tompo, H. Gazali Sackhlan, H. Darwis Zakaria, dan lain – lain ( lahir seminggu lebih dahulu dari Perguruan Nasional).
3. Kelompok Ka’ MINO, menyerang Radio dan dibantu oleh Pemuda Lariang Banggi. Ada dugaan dari kami bahwa gerakan tersebut direstui oleh Lanto Daeng Pasewang karena pada tanggal 27 Agustus 1945 pagi hari, kami diperintahkan untuk mengantar surat untuk Pajongan Daeng Ngalle (Karaeng Polongbangkeng) yang diterima oleh kurirnya di Palleko.
Kami berangkat naik sepeda bersama Rajadin Daeng Lau, agaknya direncanakan dan akan merupakan “terugval basis” bila gerakan ini dipukul mundur oleh pasukan Sekutu / NICA. Tepat pada jam 23.30 Sdr. Abd. Rivai Pae’rai menawarkan pengibaran bendera Merah Putih tepat pada jam 24.00 di depan hotel EMPRESS. Kami berdua yaitu Abd. Rachman Lanto (alm) melaksanakannya sesuai dengan perintah dan berjalan lancar tanpa gangguan apa – apa dari pihak Australia. Tetapi sial bagi kami, karena sekembalinya dari pelaksanaan tugas, Radjadin Daeng Lau, Abd. Latief Daeng Nyau dan kami sendiri ketiduran di garage Bapak Saelan mungkin karena kecapean melaksanakan tugas – tugas ke Palleko, ke Pattunuang dan pengibaran sangsaka Merah Putih.
Kurang lebih pada jam 02.30, kami bertiga meninggalkan rumah Bapak Saelan menuju sasaran, di Jalan Hasanuddin (sekarang) antara bioskop ISTANA dan GELAEL, kami terkepung oleh pasukan polisi yang dipimpin oleh Van der Pol. Yang membawa pistol Jepang adalah Rajadin Daeng Lau, pistol tersebut dilempar ke pinggir jalan dan diketemukan oleh mereka. Mereka akan mengikat kami, tetapi kami mengatakan tidak usah tuan, kami tidak akan lari, oleh der Pol mengatakan : “Engkau pemimpinnya, he ?”
Di Kantor Polisi (dewasa ini kantor Walikota UP), kami diinterogasir. Oleh Komisaris Polisi Koekrits diancam : “He Zainuddin engkau akan rata dengan tanah besok pagi”. Kami jawab “Terserah pada tuan – tuan.” Menjelang jam 05.00 pagi kami minta untuk shalat dan mereka mengizinkannya. Selesai shalat, kami lari meninggalkan dua teman kami itu dan kami ditembaki oleh mereka, Alhamdulillah kami selamat. Selamat karena tempat ini diserang oleh pemuda – pemuda kampung Beru dari arah Fort Rotterdam. Keduanya yang kami tinggalkan dimasukkan dalam kandang macan.
Sebahagian dari anggota penyerang Hotel Empress, menuju Polongbangkeng dan gugur sebagai kesuma bangsa antara lain : Emmy Saelan, Wolter Mongisidi, Koko Sam, Abdullah Saleh Tompo dan Moh. Noer Pabeta gugur kemudian pada serangan umum tanggal 1 Maret 1949 di Yogyakarta.Gerakan ini oleh pihak Belanda disebut Palagan I.
Seterusnya dimana – mana terjadi perlawanan fisik oleh para pemuda dan ataukan ekspedisi dari Pulau Jawa akibatnya timbul korban 40.000 jiwa. Akibat serangan umum itu, momentum perjuangan beralih keluar kota Makassar, ke pedalaman.
Secara politis kedudukan Gubernur Sulawesi DR. Ratulangie makin tersudut dan memindahkan pemerintahannya ke kota Watampone, melalui jaminan Arumpone A. Mappanyukki dan rakyatnya yang semula mendukung proklamasi RI. Tetapi pihak NICA mempraktekkan politik “bagi dan kuasai (verdeel en heers)” dengan cara membonceng pada pihak sekutu.
Pada bulan Nopember 1945, Gubernur Sulawesi membentuk badan perjuangan yang bercorak politik dengan nama PUSAT KESELAMATAN RAKYAT SULAWESI (PKRS) dengan susunan pengurus sebagai berikut :

Ketua : DR. G.S.S.J. Ratulangie (Gubernur Sulawesi)
Sekretaris : WST Pondaag
Bendahara : Suwarno
Wakil Ketua Komite Nasional Indonesia Selebes : Lanto Daeng Pasewang
Anggota – anggotanya :
1. H. Mansyur Daeng Tompo (Ketua Jamiah Islamiyah Selebes)
2. Inche Saleh Daeng Tompo (Wakil Golongan Pamong Raja)
3. J. Latumahina (Ketua Dewan Kristen Selebes)
4. Makki (Wakil Golongan Buruh)
5. H. Sewang Daeng Muntu (Ketua Muhammadiyah Cab. Sulawesi)
6. Sam (Kepala Bag. Pendidikan Pusat Keselamatan Rakyat)


Pada tanggal 21 Nopember 1945, Brigjen FO Chilton, mengeluarkan satu perintah kepada komandan bawahannya, bahwa NICA merupakan bahagian integral dari administrasi kemiliteran, dimana peraturan – peraturan dan perintah – perintahnya dilakukan atas kewenangan dari komando sekutu sewaktu setiap tindakan atas nama pemerintah RI dilarang.
Pada bulan Desember 1945 inisiatif sudah beralih ketangan NICA dan pada tanggal 18 Desember 1945, untuk pertama kalinya PKRS mengadakan perundingan dengan pihak CONICA. DR. Ratulangie cs tetap setia asas tujuan dan pendiriannya bersedia secara damai bekerjasama untuk pelaksanaan pembangunan demi kepentingan rakyat dan bangsa. DR. Ratulangie menyampaikan kepada DR. Lion Cachet mengenai asas dan pendirian PKRS sebagai berikut :

I. Pendirian Prinsipil Kami berdiri dibelakang RI sesuai UUD yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, dimana Selebes merupakan bahagian yang tidak dapat dipisahkan

II. Pertimbangan – pertimbangan untuk berunding
1. Nasib dari Indonesia akan ditentukan oleh konperensi yang akan diadakan antara pemerintah Pusat RI dengan wakil – wakil Pemerintah Belanda dan pada akhirnya oleh konperensi internasional PBB
2. Tindakan – tindakan yang akan diambil dalam hubungannya dengan konprensi – konprensi tersebut kami serahkan kepada Pemerintah RI di Jakarta, kepada siapa kami memberikan kepercayaan sepenuhnya
3. Sikap kami dari semula sampai sekarang adalah untuk mewujudkan cita – cita kami dengan menghindarkan terjadinya tindakan – tindakan kekerasan

III. Petunjuk dalam perundingan
1. Mengusahakan agar perkembangan masyarakat dan ekonomi rakyat dapat berlangsung secara normal juga dalam masa peralihan ini pengertian bahwa kami menunggu adanya keputusan, keputusan mengenai nasib Indonesia.
2. Pertemuan kedua pada tanggal 20 Desember 1945 antara PKRS dan CONICA. DR. Ratulangie mengusulkan adanya Panitia Penghubung terdiri dari 3 orang yang disusun dengan pemufakatan raja – raja.
Pihak CONICA menyetujui pembentukan Panitia Penghubung, tetapi mereka telah mengangkat sebelumnya A. Ijo selaku Sombaya di Gowa dan Pabbenteng menjadi Arumpone. Arsiteknya ialah cendikiawan tokoh – tokoh politik Sonda,Daeng Mattayang, Najamuddin Daeng Malewa, Abdullah Daeng Mappuji, Baso Daeng Malewa, Abd. Rajab, Mr. S. Binol, Husein Puang Limboro, dll.
Pada tanggal 25 Pebruari 1946, CONICA telah berhasil membentuk Dewan Penasehat yang terdiri dari anggota – anggotanya antara lain : A. Pebbenteng, Laode Fahili, La Cibu, Najamuddin Daeng Malewa dan Sonda Daeng Mattayang.
SERUI
Pada tanggal 15 April – 17 Juni 1946 Gubernur Sulawesi DR. Ratulangie bersama 6 orang pembantu – pembantunya dipenjarakan di Hoge Pad Weg,


Penjara Makassar (1946)

dan selanjutnya dibuang / diinternir ke Serui (P. Yapen). Rombongan I diangkut dengan kapal terbang CATALINA, pada tanggal 18 Juni 1946, yang terdiri atas 3 keluarga yaitu keluarga DR. Ratulangie, Lanto Daeng Pasewang dan J. Latumahina. Keluarga lainnya tiba melalui kapal laut.


Scetch of the arrival of exiled persons (1946) at Serui

Tindakan pengasingan itu agaknya dimaksudkan untuk
a. mempercepat penyerahan kekuasaan dari pihak sekutu kepada NICA yang berlangsung pada tanggal 10 Juli 1946
b. mengadakan konferensi Malino pada tanggal 15 – 25 Juli 1946, sebagai embrio pembentukan NIT
c. Melalui NIT, merealisir NIGEO, yang telah direncanakan sejak Pemerintahan pelanan Nederland Indie ke Australia
Di Serui terdapat kesepakatan antara beliau – beliau untuk mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian berpusat di Serui yang dilaksanakan pada akhir tahun 1946.


The 7 exiles and Oom Silas Papare

Para beliau mendekati Bapak Silas Papare seorang mantan anggota tentara Amerika Serikat dan bekerja sebagai manteri kesehatan di Serui. Peranan Bapak Latumahina cukup bersar, karena pada umumnya para anggota Zending di Irian sebagian besar berasal dari Maluku.
Dari kalangan pemuda yang mendukung ide antara lain Stefanus dan adiknya. Yang bersangkutan pernah ditahan pada kantor Polisi Serui bersama Sdr. Palangkey Daeng Lagu, karena mereka berdua mengunjungi (dataran Pulau Irian). Atas perjuangan DR. Ratulangie keduanya dibebaskan. Lain halnya Bapak Silas Papare dimana beliau ditangkap oleh pemerintah dan dibawa ke Hollandia untuk dipenjarakan.
Pengasingan ke Serui, memberi kesempatan kepada DR. Ratulangie untuk menyusun konsep buku “Indonesia diatas papan catur politik internasional” yang menurut beliau akan dipersembahkan kepada bangsa Indonesia.
Kami sempat menerimanya dari tangan pertama, karena pada suatu kesempatan kami mengancam beliau bahwa di Serui akan diadakan pemberontakan fisik dipimpin oleh kami. Kami akan membunuh Controleur den Hertog bersama isterinya, dikala beliau sedang berjalan – jalan sore hari di Serui. Alasan: kami telah mati . sebelum mati.
Beliau menanyakan kepada kami, darimana Nudin memperoleh senjata. Kami jawab, bahwa kami memperoleh dukungan dari polisi asal Minahasa dan Ambon. Yang kami takuti ialah apabila Oom Sam dan tante serta anggota lainnya akan dibunuh oleh pihak Belanda.
Spontan beliau menjawab itu rencana gila Nudin. Ngoni mau apa ? Kami menjawab : ajarlah kami Oom tentang politik. Ngoni atur waktu. Maka diadakanlah pendidikan oleh beliau 2 x seminggu.
Catatan : Buku tersebut tidak sempat dipubliser sampai beliau meninggal pada tahun 1949 di Jakarta. Mayat beliau disemayamkan di Tondano (Minahasa) tempat kelahirannya. Disini didirikan sebuah TAMAN dengan sebuah patung besar setengah badan. Untuk mengenal lebih mendalam, siapa DR. G.S.S.J. Ratulangie. Pada kesempatan yang baik ini, kami akan jelaskan sebagai berikut :

A. Beliau memulai pembahasannya tentang negara CHINA, sejak Zaman Keizer Ming, seterusnya ke Sun Yat Tsen dengan konsep San Min Chui-nya yang terkenal dan dilanjutkan ke Generalisme Chiang Kai Shek dengan konsep Kuo Mintang – nya. Beliau mengupas tentang famili Chung, yang oleh beliau dianggap komparador imprealisme Barat.
Beliau menjelaskan juga tentang Perang Boxer dimana pelabuhan Syang-Hai dipaksakan dibuka oleh Amerika Serikat melalui pengiriman kapal perang. Beliau menjelaskan juga mengenai perang Chiang melawan komunis Mao Tse Tung dan juga tentang perang Chiang melawan Jepang. Dari kupasan beliau diatas, beliau mengambil kesimpulan bahwa daratan China akan dikuasai oleh Mao Tse Tung.

B. Selanjutnya dikupas pula mengenai perang Jepang melawan Rusia pada tahun 1904 – 1905, yang dimenangkan oleh pihak Jepang. Kaitan dengan peristiwa ini, beliau mengarang buku tentang “Pacific in de branding”

C. Akibat perang dunia II, setelah kapitulasi pihak Jepang terhadap Sekutu, pada tanggal 14 Agustus 1945, beliau mengambil kesimpulan, bahwa Amerika Serikat akan membangun negeri Jepang, sebagai “anti pode” berkuasanya Mao Tse Tung di dataran China. Eropa Barat yang porak poranda akan dibangun oleh Pemerintah Amerika Serikat yang dikenal kemudian melalui “Marshall Plan”, menghadapi komunis Uni Sovyet.

D. Selanjutnya beliau mengupas tentang kedudukan Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaannya. Menurut beliau, bahwa Amerika Serikat memandang letak geografis Indonesia sangat strategis. Pihak Amerika sangat berkepentingan dan tidak menghendaki labilitas politik di Asia Tenggara menghadapi komunisme internasional. Kita ketahui bahwa di Indo – China pun sedang terjadi pemberontakan menghadapi pemerintah kolonial Perancis.
Beliau mengambil kesimpulan bahwa Pemerintah Belanda akan dipaksa oleh majikannya Pemerintah Amerika Serikat untuk berunding dengan pihak Republik Indonesia dan Indonesia akan keluar sebagai pemenang.

E. Selain itu, beliau mengupas tentang kemungkinan pecahnya Perang Dunia ke III. Bahwa dalam perut bumi di Asia Tengah tersimpan milyarden ton bensin dan minyak tanah. Dunia ini berputar dengan bensin dan minyak tanah. Siapa yang menguasai Asia Tengah dia akan menguasai dunia.
Mengenai latar belakang pergolakan diwilayah ini, beliau mengupas tentang peranan Ballfour, Singa padang pasir pada peristiwa Perang Dunia I, yang mengeluarkan “Ballfour Declaration”. Bahwa negara Mesir harus diisolir dari Turki. Untuk itu dibentuk “bufferstate”, meliputi negara Jordania di bawah protectoraat Inggeris, Libanon dibawah Perancis dan Palestina oleh keduanya. Oleh Pemerintah Inggeris diangkat ayah Raja Husein menjadi Raja.
Setelah Perang Dunia II usai, Zeonisme bangkit dan menggegar kekacauan di negara Palestina. Pada akhirnya mereka berhasil memojokkan kekuasaan Inggeris dan berdirilah negara Zeonist yaitu Israel. Selain itu beliau menjelaskan peranan Yahudi dalam perekonomian Amerika Serikat bahwa Wall Street dikuasia oleh orang Yahudi, demikian pula Bank of Swiss dan bahkan Bank of London. Bahwa orang Yahudi itu Keras Kepala, tercantum dalam Bybel Oom dan Alquran Nudin, katanya.
Dalam menutup karangan beliau itu, beliau mengambil “kesimpulan diatas kesimpulan” (conclusie boven conclusie) :
a. Bahwa komunis Mao Tse Tung akan menguasai dataran China
b. Negara Jepang akan dibangun kembali oleh Pemerintah Amerika Serikat sebagai Antipode diatas
c. Pihak Belanda akan dipaksa oleh majikannya Amerika Serikat untuk berunding dengan pihak Republik Indonesia, dan Indonesia akan keluar sebagai pemenang
d. Pecahnya Perang Dunia III, kemungkinan besar akan meletus di Asia Tengah. Semua perhitungan orang lain salah dan inilah yang benar.
Akibat Perjanjian Renville setelah Clash I, seluruh rombongan dikembalikan ke Yogyakarta (Ibukota RI).
Disini beliau menderita sakit dan dirawat di Jakarta. Sebelum itu, puteri – puteri beliau telah dikirim ke Jakarta untuk bersekolah.

Ujung Pandang, 30 Juli 1996
Ir. Zainuddin Daeng Maupa
DAFTAR PUSTAKA
1. Arus Revolusi di Sulawesi Selatan (Dewan Harian Daerah Angkatan 45 Prop. Sul – Sel Masa Bhakti 1985 – 1989)
2. Indonesia Diatas Papan Catur Politik Internasional oleh DR. G.S.S.J. Ratulangie (tidak sempat dipublikasikan)
*) Purnawirawan Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian, Alamat sekarang : Ujung Pandang : Telepon : 0411 – 851265

Di-upload ke Laniratulangi’s Blog, 31 Maret 2010
http://laniratulangi.wordpress.com/
Baca Selanjutnya - * Perjuangan Ketujuh Tokoh Pergerakan Kebangsaan di Makassar dan Serui (Yapen) Papua

* Karaeng Sangunglo dan Heroisme Bugis di Sri Lanka


Kandy lake

Namanya Karaeng Sangunglo atau kadang ditulis Sanguanglo. Ia adalah keturunan bangsawan Gowa, sebuah kerajaan lokal di Sulawesi Selatan. Tapi lelaki yang, menurut kesaksian seorang Inggris, berbadan besar berdegap itu berkubur jauh di seberang Laut Sahilan. Ia tewas dalam mempertahankan Kerajaan Kandy di jantung Pulau Ceylon (Sri Lanka) dari aneksasi kolonialis Belanda dan Inggris.

Siapakah Karaeng Sangunglo? Inilah hikayat tentang dirinya, dirangkai dari serpihan data sejarah yang terserak dalam laporan orang Eropa, surat kabar, majalah dan buku-buku tua, naskah-naskah bertulisan Jawi, dan juga beberapa sumber kedua.

Pulau Sumbawa suatu hari di tahun 1767. Sultan Fakhruddin Abdul Khair al-Mansur Baginda Usman Batara Tangkana Gowa sedang berada di ibukota Kerajaan Bima, penghasil kayu sepang sekeras paku yang digemari Belanda, madu, sarang burung, dan….budak. Baginda adalah Sultan Gowa ke-26 (naik tahta 1753). Ayahnya, Sultan Abdul Quddus (Sultan Gowa ke-25; 1742-1753) mempersunting ibunya, Karaeng Ballasari, putri pasangan Sultan Bima, Alauddin Riayat Syah (1731-1748) dan Karaeng Tanasangka, putri Sultan Gowa ke-21, Sirajuddin Tumenanga (1711-1713).

Sultan Fakhruddin sedang gundah karena intimidasi politik Belanda di Gowa, juga karena intrik dalam keluarganya sendiri. Hatinya risau dan pikirannya kacau. Ia tinggalkan Istana Gowa dan pergi ke Bima, tanah kelahiran Ibundanya, untuk menenangkan jiwa. Para bangsawan Gowa membujuknya pulang, tapi Sultan Fakhruddin tak hendak lagi kepada mahkota dan istana.

Di Bima, VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) terus mematai-matai Sultan Fakhruddin. Ia dituduh berkonspirasi dengan sebuah sindikat yang disebut ‘Cella Bangkahulu’ yang berhubungan dengan Inggris. VOC menganggap Sultan Fakhruddin melakukan manuver politik yang berbahaya yang tampaknya dimaksudkan untuk menentang monopoli dagang Belanda di Nuantara bagian timur.

Pada suatu hari, masih di tahun 1767, Sultan Fakhruddin dan ibunya tiba-tiba ditangkap atas perintah Jacob Bikkes Bakker, Residen Belanda di Bima. Ia segera dibawa ke Batavia. Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra memberi perintah: Sultan harus dibuang ke Ceylon (Sarandib atau Langkapuri). Pada tahun itu juga Sultan Fakhruddin (mungkin bersama istrinya, Siti Hapipa) sampai di Colombo, ibukota Ceylon, negeri pembuangan.

Hidup di tanah pembuangan yang jauh dari tanah tumpah darah sendiri mungkin telah menyiksa batin keluarga Sultan Fakhruddin. Namun di Ceylon Siti Hapipa melahirkan banyak anak seperti marmut. Ia mencatat dalam sepucuk surat beraksara Jawi yang ditulisnya di Colombo tanggal 3 Januari 1807 bahwa anaknya duabelas orang (6 lelaki, 6 perempuan). Surat itu saya temukan baru-baru ini di Universiteitsbibliotheek Leiden, Belanda (Kompas, 11&14/8/2008; Jurnal Wacana 10.2, 2008: 214-45).

Rupanya Sultan Fakhruddin punya seorang istri lagi yang sudah diceraikannya. Wanita yang tidak diketahui namanya itu memberinya seorang anak lelaki. Dialah yang bernama Karaeng Sangunglo. Kelak anak itu menjadi pahlawan Melayu yang harum namanya dan melegenda di Ceylon.

Seperti kebanyakan keluarga bangsawan Nusantara yang dibuang VOC ke Ceylon, Karaeng Sangunglo muda terpaksa ikut dalam Resimen Melayu Ceylon yang dibentuk Belanda (yang kemudian bernama the Ceylon Rifle Regiment setelah dilikuidasi Inggris yang menduduki Ceylon tahun 1796). Sultan Fakhruddin dan keluarganya hidup di Colombo dengan menerima gaji bulanan dari pemerintah. Mungkin ini cara Belanda mengobat hati seorang raja yang dengan paksa dibuang ke negeri yang jauh: anak-anaknya diterima, kadang juga dipaksa ikut, dalam resimen ketentaraan pribumi pasukan kolonial bikinan si penjajah. Gunanya untuk memerangi sesama saudaranya bangsa Timur.

Dalam serangan VOC ke wilayah Kandy tahun 1761 Karaeng Sangunglo dan teman-temannya membelot ke pihak Kandy. Jiwanya memberontak melihat perlakuan kejam Belanda kepada kaum pribumi Ceylon. Raja Kandy, Nayakkar Kirthi Rajasinha (1747-1782) menerima suka para desertir itu. Mereka ditarik menjadi anggota pasukan pengawal Istana Kandy. Karaeng Sangunglo dianugerahi gelar kehormatan Muhandiram oleh Raja Nayakkar. Ia juga diangkat menjadi pemimpin sekitar 300 orang kaum Melayu Kandy (the Kandyan Malays) yang nenek moyang mereka berasal dari Nusantara.

Enam saudara tiri Karaeng Sangunglo—Karaeng Yusuf, Kapten Karaeng Abdullah, Kapten Karaeng Muhammad Nuruddin, Karaeng Segeri Zainal Abidin, Karaeng Sapanang Yunusu, dan Kapten Karaeng Saifuddin—juga ikut dalam Resimen Melayu Ceylon. Tapi mereka sangat setia kepada Tuan-tuan Eropanya.

Surat Siti Hapipa yang saya temukan itu juga menceritakan suka-duka hidup sebagai orang buangan di Ceylon dan rasa rindu kepada tanah Nusantara. Suaminya, yang menanggung utang sampai 5000 Rial, wafat dalam usia sekitar 46 tahun pada Minggu, jam 13:30, 25 Januari 1795 di kediaman resmi Gubernur terakhir Belanda di Ceylon, Johan Gerard van Angelbeek, di Colombo. Waktu itu Sultan Fakhruddin diundang makan siang oleh Gubernur Angelbeek.

“Setelah [h]abis minum te[h] maka Baginda(h) bangun(g)lah daripada meja(h) serta mohon kepada Adelir [Angelbeek], maka baring2, tatkala itulah sudah pulang ke Rahmatullah kepada hijrat al-nubuwat sanat 921 [1209] tahun Ha bulan Rajab empat hari dari bulan, harinya Ahad tengah hari jam pukul satu setengah”, tulis Siti Hapipa dalam suratnya, menjelaskan penyebab kematian suaminya.

Perang atas nama penindasan antara sesama manusia di Ceylon telah membunuh ketujuh putra Sultan Fakhruddin. Dua si antaranya, yaitu Karaeng Yusuf—yang dalam beberapa laporan Inggris disebut ‘Captain Usop Gowa’—dan Karaeng Abdullah, tewas membela bendera Inggris dalam perang Polygar di India Selatan (Tamil Nadu) tahun 1800.

Tetapi ada yang tragis dalam kematian ketujuh lelaki bersaudara itu. Di tahun 1803 pasukan Inggris yang dipimpin Mayor Davie mencoba mencaplok Kerajaan Kandy. Serangan itu mengikutsertakan Resimen Melayu Ceylon. Kapten Karaeng Nuruddin dan Kapten Karaeng Saifuddin ikut pula dalam penyerangan itu.

Mendekati Istana Kandy Pasukan Mayor Davie mendapat perlawanan hebat. Dalam kecamuk perang tiga bersaudara bertemu di medan tempur. Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin yang membela Inggris berhadapan dengan saudara sendiri, Karaeng Sangunglo, yang membela Kandy. Empatpuluh tahun lebih sudah sesama saudara tiri itu berspisah. Kini sebuah ‘reuni’ ironis terjadi dalam tatapan dan nafsu untuk saling membunuh.

Greevings, seorang anggota tentara Inggris, mencatat keberanian Karaeng Sangunglo, yang disebutnya ‘fat and tall Malay prince’ di medan tempur. Dalam desingan peluru dan tetakan kelewang, ia membujuk kedua saudara tirinya membelot ke pihak Kandy. Bujukan itu gagal, Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin tetap setia kepada Tuan Inggrisnya. Dalam the First Anglo-Kandyan War itu Inggris menderita kekalahan telak. Tragisnya, Karaeng Sangunglo tewas di tangan Mayor Davie. Jenazahnya dikebumikan dengan upacara yang khidmat oleh otoritas Kerajaan Kandy dan masyarakat Kandyan Malays.

Gubernur Frederick North (1798-1805) di Colombo memerintahkan Mayor Davie menyerah kepada musuh. Tentara Kandy menawan sisa pasukan Inggris, termasuk Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin. Raja Kandy, Sri Vikrama Rajasinha (1798-1815), minta keduanya mengabdikan diri kepada Kerajaan Kandy. Akan tetapi Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin menolak permintaan Raja Kandy itu, meskipun keduanya sudah diberi dua kali kesempatan untuk mempertimbangkan tawaran itu. Rupanya Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin telah bersumpah sampai mati untuk tetap setia kepada Inggris.

Penolakan itu membuat Raja Sri Vikrama amat murka. Sudah dapat diramalkan apa yang terjadi kepada seorang hamba jika seorang raja sudah murka. Algojo diperintahkan mengesekusi kedua saudara tiri Karaeng Sangunglo itu. Saking murkanya, Raja Sri Vikrama melarang mengubur mayat mereka. Kedua jenazah itu dilempar ke hutan dan menjadi santapan celeng liar.

Karaeng Sangunglo, yang dikenang sebagai pahlawan (Melayu) di Ceylon, adalah ‘tali sejarah’ yang mungkin dapat mempererat hubungan Indonesia dan Sri Lanka. Seperti halnya Syekh Yusuf al-Makasari, ia adalah seorang putra Indonesia yang berjuang di negeri yang jauh melawan penjajah Eropa yang menindas sesama umat manusia. Ironisnya, ia dilupakan di tanah airnya sendiri. Tak ada nama sebuah gang pun di negeri ini yang mengabadikan namanya, juga di Makassar, di kaki Pulau Sulawesi sana.

Kiranya riwayat hidup ‘pahlawan Indonesia’ seberang lautan itu perlu diteliti lebih lanjut oleh cerdik-pandai sebuah negara-bangsa (nation-state) yang suka menghargai jasa-jasa pahlawannya.

Oleh :
Suryadi, dosen dan peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Indonesiƫ, Faculteit Geesteswetenschappen Universiteit Leiden, Belanda

Sumber :
http://niadilova.blogdetik.com


Catatan: artikel ini juga dimuat di situs: www.melayuonline.com
Baca Selanjutnya - * Karaeng Sangunglo dan Heroisme Bugis di Sri Lanka